Orientasi Seksual Bisa Diubah (?)

 




Sebenernya, orsex bisa diubah ga sih? Pertanyaan itu sering kali saya dengar dari kalangan LGBTQ+. Tentu kita semua  pernah mendengar seseorang yang tadinya hetero lalu berubah menjadi gay,  karena selalu gagal  menjalin relasi  dengan lawan jenis, sakit hati lalu beralih jalur ke dunia pelangi.  Atau, cerita seseorang yang awalnya hetero, karena dilecehkan/dipaksa oleh gay menjadi   ketularan.  Ada pula, cerita orang yang iseng mencoba  hubungan sex sesama jenis, lalu keterusan.  Padahal  sebelumnya dia heteroseksual.  Itu tadi deretan kisah bagaimana hetero berubah menjadi homo. Dari homo menuju hetero pun juga akan kita temui beragam kisah dari orang-orang yang mengklaim diri sembuh.  Dari semua testimony transfer pemain  perubahan orsex dari homo ke hetero selalu dibalut dengan kisah religi. Kesembuhan itu, diklaim oleh karena kuasa  Tuhan. Jadi, bisakah orientasi seksual diubah?

Alfred Kinsey

Sejauh ini tidak ada jurnal ilmiah yang cukup obyektif yang menunjukan bahwa orientasi seksual  dapat diubah. Namun, ada satu teori yang bisa kita pakai untuk membahas perubahan orientasi seksual pada seseorang. Teori tersebut dikenal dengan nama Skala Kinsey. Skala Kinsey digagas oleh seorang ahli biologi berkebangsaan Amerika bernama Alfred Kinsey. Skala Kinsey diterbitkan dalam dua penelitan yang berjudul Sexual Behavior in the Human Male (1948) dan Sexual Behavior in the Human Female (1953).

Kinsey menemukan, seksualitas manusia tidaklah biner, tetapi ada dalam sebuah spetrum. Spetrum itu kemudian dirumuskan dalam skala mulai dari 0-6. Inilah yang disebut dengan Skala Kinsey. Angka 0 menunjukan hetero seksual ekslusif, dan 6  homoseksual ekslusif, sedangkan 3 adalah keseimbangan antara homoseksual dan heteroseksual. Seksualitas tersebut bersifat cair, artinya sangat mungkin untuk bergeser baik ke atas maupun ke bawah. Pergeseran itu dipengaruhi oleh banyak faktor, baik sosial maupun biologis. Tetapi pergeseran itu hanya 1 poin dari titik awal kita, orientasi bawaan.

Skala Kinsey

Kisah-kisah transfer pemain perubahan orsex bisa diuji kebenarannya mengunakan  Skala Kinsey.  Jika kita menelusuri kembali hidup kita, kita bisa mengetahui, bahwa orientasi kita memang berubah-ubah sepanjang waktu.  Skala Kinsey bisa dijadikan acuan, untuk mengukur seberapa homo kita.   Perlu dingingat, perlu kejujuran dalam menelusuri kembari sejarah hidup kita untuk mengenali orsex kita yang sebenarnya.

Saat masuk SMP saya mulai mendapat seks education. Meski hanya sangat terbatas pada perubahan yang saya alami di masa puber. Guru-guru di sekolah selalu menekan, seorang yang masuk masa puber akan mulai tertarik dengan lawan jenis. Hal itu adalah seauatu yang wajar, yang tidak wajar adalah jika justru tertarik sesama jenis. 

Saat SMP, sebenarnya saya belum memiliki ketertarikan itu, baik pada lawan jenis maupun sesama jenis. Demi terlihat normal, saya memutuskan untuk tertarik pada lawan jenis. Secara penampilan fisik tidak ada satupun teman sekelas yang menarik perhatian saya. Justru saya lebih tertarik  pada  ketua osis di sana. Dia kakak kelas saya, laki-laki,  tinggi putih, berdarah campuran jawa chinese. Rambut tebal, belah tengah. Gayanya kalem, anak basket, saat latihan basket dia selalu membawa motor pitung merah yang sudah dimodifikasi. Dia memakai gelang kayu. Saat ujian semester saya punya kesempatan duduk bersebelahan. Saya hanya tertarik memandangnya, tidak ada pikiran untuk pacaran atau apapun.  

Saat mememutuskan untuk menyukai lawan jenis, saya tidak tahu siapa yang harus saya sukai. Jadi saya mencoba untuk membuat kriteria. Pertama, seagama, dua pintar. Jadilah saya melihat daftar absen, memfilter nama perempuan katolik dikelas, setelah itu, saya memilih anak dengan NEM tertinggi. Saya mencocokan nama-nama itu dengan lembar pengumunan penerimaan siswa. Dan diperolehlah satu nama, sebut saja MIK. Langkah selanjutnya saya mencari siapakah MIK.  Waktu itu, saya baru saja masuk kelas satu SMP. Saya butuh waktu lama untuk menghafal nama teman sekelas, terutama teman perempuan. Setelah  mendapat target, saya tidak sepenuhnya tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian, saya mencoba mengamatinya, dan mencoba membayangkan bagaimana jika seandainya saya pacaran dengan dia. Ternyata, apa yang saya lakukan terlalu frontal. Dia menyadari bahwa saya sering mengamatinya. Dan. Ditolak tanpa sempat menyataklan perasaan. (emg ada perasaan apa sih???) Bagaimana rasanya mendapatklan penolakan?  Pengen sedih ga bisa. Lebih ke malu aja sih, karena merasa bodoh. So, I diceded to choose another random girls, and I fail again for several times. Sekali lagi, saya jauh lebih merasa bodoh dan malu daripada sakit hati. Tertarik pada perempuan adalah sesuatu yang sangat saya paksakan. Naik kelas dua, saya tidak peduli lagi soal cinta-cintaan. Ketua OSIS idola saya sudah lulus. Saya lebih suka bermain bersama teman laki-laki, seperti main tamiya, dan PS. Sesekali saya melihat video porno di internet bersama teman saya. Saat di bilik warnet, saya lebih focus pada ekspresi teman saya.  -_- Di usia itu, saya belum mengenali orientasi seksual saya.

Kadang saya memainkan penis saya, sambil membayangkan seorang perempuan. Saya membayangkan saya sudah dewasa dan bekerja, tinggal di sebuah rumah dengan desain modern minimalis, dengan cat abu-abu. Sepulang kerja, di akhir pekan saya pulang bersama seorang perempuan pekerja seks. Jangan tanya kepikiran dari mana kok bisa pekerja seks. Saya bisa membayangkan semua begitu detail, kecuali sosok perempuan itu sendiri. Perempuan itu hanya bayangan hitam dengan rambut panjang dan dada besar.  Saya tumbuh di era 90an bersama film Warkop DKI.  Konsep perempuan yang saya peroleh, ya sama seperti dalam  film itu.

Fantasi lainnya, masih di usia itu, saya membayangkan punya ayah dari kalangan  militer. Single parent, yang keras, dan sedikit psiko suka menyiksa saya karena tidak disiplin. (yeah, im masokis T.T) Tidak ada fantasi sex, murni hanya fantasi kekerasan, tetapi hal itu sangat merangsang.  Dari mana datangnya fantasi itu? Salah satunya dari acara smack down. Faktor lainnya datang dari pelatihan baris berbaris di sekolah (tonti). Di acara Smack Down, saya melihat lelaki berotot saling pukul dan menahan sakit itu sangat mengairahkan. (iya mereka cumapura-pura, tapi dulu percaya banget itu asli namanya juga bocah :p)  Demikian pula jika melihat teman-teman dihukum push up saat latihan tonti.

Saya belum menyadari  sepenuhnya apa  orientasi seksual saya. Saya berusaha memilih menjadi hetero seksual, tetapi sepertinya  dari seluruh  pengalaman itu, bisa dikatakan dalam skala Kinsey saya ada diantara 4-5. Hhhmmm sepertinya condong ke 5   

Saat SMA, saya semakin  dapat mengenali orsex saya. SMA saya sama sekali tidak melirik ke perempuan. Saya justru semakin menikmati keindahan tubuh lelaki. Pelajaran olah raga, menjadi saat yang mengembirakan sekaligus mendebarkan. Karena pada momen  ganti baju, saya dikelilingi cowo shirtless , keringetan pula :v. Senang bisa menikmati tkeindahan tubuh teman-teman saya, tetapi takut jika ada yang menyadari tatapan aneh saya. Ketakutan itu semakin hari menjadi semakin besar. Akhirnya momen itu justru menjadi momen paling canggung. Saya merasa malu ganti pakaian bersama di kelas. Ada perasaan yang mengatakan saya berbeda dengan mereka. Sayapun akhirnya lebih nyaman untuk ganti pakaian di toilet.  Hobi saya semasa SMA adalah menjelajah dunia maya. Ngapain? Ya bokeplah. Kategori favorit mom and son. Teman saya mengira saya aneh suka emak-emak, padahal saya fokus ke anaknya. Fantasi sex saya, saat itu tidak lagi perempuan pekerja seks, maupun disiksa ayah yang psiko. Tetapi teman sekelas saya sendiri. Saat berfantasi dengan perempuan, saya hanya bisa membayangkan bayangan hitam. Dengan teman sendiri saya bisa membayangkan jelas wajahnya, badan bahkan baunya. Jika sedang online sendirian, saya  terkadang mencari gay lain mengunakan mIRC. Inilah fase di mana saya mempertimbangkan orientasi seksual homoseksual. Namun dapat dipastikan, dalam skala Kinsey saya berada di posisi tertinggi, yakni 6.

Lulus SMA, saya saya bekerja di percetakan. Mayoritas teman kerja saya adalah laki-laki, dan lingkungannya sangat patriak, sexist dan heteronormative. Bahkan cenderung misogonis pada atasan perempuan. 75% obrolan kami saat istirahat bertemakan perempuan, itupun berkisar pada vagina dan payudara. Meskipun berada dilingkungan yang sangat heteronormative, faktanya saya tidak bisa melawan naluri saya sebagai gay. Justru saya semakin hari semakin gay. Bagaimana tidak, setiap hari saya dihadapkan pada puluhan lelaki. Beberapa masih seumuran dengan saya, dan ada anak-anak PKL dari SMK. Di masa ini, skala Kinsey saya tetap kokoh dipuncak.

Hanya saja, ada satu teman kerja, sudah sangat senior, terindikasi gay oleh teman-teman lain. Kadang, dia menjadi bahan gunjingan. Dan yang dibicarakan tentu saja adalah sesuatu yang negative. Hal itu tentu membuat saya berhati-hati. Saya kembali berusaha menyukai  perempuan. Masalahnya, saya sama sekali tidak punya naluri untuk menjadi hunter.  Demi kembali ke jalur yang benar, saya sampai rela membeli buku tentang cara mencari pacar.

Dimana ada kemauan, di situ ada jalan.  Saya kemudian dekat dengan teman SMP saya dulu, MIK. Yeah, perempuan yang saya pilih secara random untuk dicintai. Siapa tahu dulu yang beretpuk sebelah tangan, sekarang bisa bertepuk tangan. Saya berhasil dekat, dengannya tetapi tidak pacaran. Jangankan pacaran,  yang terjadi  justru terjebak dalam relasi yg aneh.  Semakin dekat dengannya semakin saya sadar siapa saya. 

Saya tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasan saya padanya. Mungkin saya mencintainya, tetapitak berani mengungkapkan, mungkin juga saya sekedar memanfaatkannya.

Ada rasa takut ditolak karena dua alasan. Pertama, saya merasa bukan tipenya.  saya sih tidak tersinggung dan merasa jelek, dia juga bukan tipe saya. Sebenarnya kami punya tipe yang sama LOL. Terkadang  saya berpikir, mungkinkah kedekatan hati mengalahkan tipe?  

Kedua, saya takut kehilangan sahabat. Kami dekat sebagai sahabat. Tetapi seluruh keluarga terlanjur mengira kami pacaran. Ini yang membuat rumit. MIK adalah topeng saya. Kehilangan dia berarti kehilangan topeng. Hal seperti itu terdengar seperti sSatu langkah menuju coming out. Mengapa saya harus mempertaruhkan sesuatu yang tidak perlu. Bukankah posisi seperti ini lebih menguntungkan.? Punya sahabat bisa sedikit mengusir rasa keterasingan saya. Sedikit merasa normal, walaupun sebenarnya ketika jalan ya tetep lirak-lirik cowo. 

Saya merasa cemburu, jika dia dekat dengan laki-laki lain. Takut kehilangan sahabat. Sementara, dekat dengannya sebagai sahabat, padahal dia punya pacar akan membuat saya sebagai orang bodoh. Semua orangkan tahunya saya benar-benar menyukainya. 

Ada sebuah kesadaran bahwa saya tidak bisa menjadikannya topeng selamanya Jadi saya mencoba sedikit meundur, dan memberi ruang baginya agar menemukan orang yang tepat untuk menjadi pacarnya. Saya mencoba dekat dengan perempuan lain dengan memanfaatkan lingkar pergaulan MIK.  Ini adalah teori 2nd line dari buku yang saya beli.  That ddidnt work at all. Saya tidak punya insting untuk dekat dengan perempuan.  Butuh waktu lama untuk dekat dengan MIK, jadi tetap saja tidak mudah menerapkan teori 2nd line. 

Alternatif lain saya mencari pacar dari social media. Lagi-lagi, saat online, saya sama sekali tidak berminat mencari pacar (perempuan). Di Mirc  tidak tertarik untuk menyapa perempuan, demikian pula di FB. Ada satu perempuan yang saya kenal melalui Y!M. Dia TKI di Hongkong. Kami berpacaran, tetapi dia yang aktif mendekati dan mengoda saya. Lagi-lagi tidak berhasil, yang real life gagal apalagi dunia maya. Dalam fase-fase itu saya berada di spectrum 4 dalam skala Kinsey.

Dan, akhirnya saya lelah berpura-pura. Perlahan saya masuk dalam dunia gay. Dari fase comparation, masuk ke fase tolerance. Saya mulai bertemu beberapa gay, dengan tetap dekat MIK. Maybe, yes maybe some miracle could happens.  Di fase itu, saya seperti hidup di dua dunia. Keluarga saya mengira, saya benar-benar pacaran dengan MIK.  Padahal pacar asli saya laki-laki. Hingga pada satu titik, setelah menonton The Love of Siam, saya merasa harus memilih, antara menjadi gay atau straight.  Saya lelah hidup di area abu-abu. Saya memberitahu MIK jika saya mencintainya, dan tentu saja dia menolak. Posisi dia sudah punya pacar. Bukan masalah sih, saya sadar tidak akan bisa mencintainya secara utuh, dan tidak ingin menyakitinya. Setelah memberi tahu MIK, saya lalu putus dengan pacar saya dengan alasan ingin bertobat.

Singkat cerita, udah 2000an kata aja ternyata -_-, 2 bulan setelah bertobat saya kembali masuk dunia gay dengan semakin berani. Mantan saya yang memotivasi saya. Homo, ya homo aja, begitu katanya. Baik ya dia :*.  Saya masuk dalam fase aceptence sekaligus kembali ke puncak  skala Kinsey, di no 6.  Pernah didekati perempuan, tetapi saya sama sekali tidak tertarik.  Im really done

Itulah sedikit kisah perjalanan seksualitas saya. Orientasi seksual memang sangat mungkin untuk berubah. Namun, perubahan yang terjadi bukan perubahan dari homoseksual ke heteroseksual, maupun sebaliknya. Perubahan yang terjadi adalah pergeseran 1 poin keatas atau ke bawah dari posisi asli kita. Tidak bisa dari 6 turun ke 5, menuju 4, hingga akhirnya 0.

 Hari ini, jika saya mengukur diri saya dengan skala Kinsey,  saya akan memberi skor 5.  Saya bisa saja mencintai perempuan. Tetapi akan butuh waktu lama. Pada perempuan saya lebih mementingkan kenyamanan hati, dan butuh intensitas komunikasi yang tinggi untuk mencapai titik itu. Sebaliknya, bersama laki-laki saya bisa dengan mudah merasa nyaman. Hati saya bisa dengan sangat mudah terbuka. Kalaupun saya kemudian dekat dengan perempuan, hal itu tidak serta merta mematikan perasaan saya kepada lelaki.  Dekat  dengan perempuan, seperti yang saya coba lakukan hanya berguna untuk mengurangi rasa sepi yang saya alami, dan sedikit menutupi rasa keterasingan saya. Karena dengan demikian saya terlihat normal.

Terlihat normal tidak benar-benar menjadikan saya normal. Karena itulah saya memilih menjadi diri sendiri.  Menjadi normal versi saya, karena setiap orang terlahir normal dalam versi masing-masing. Jadi daripada menghabiskan energi dan waktu untuk mengubah orientasi seksual, lebih baik mengunakan energi yang ada untuk berdamai dengan diri sendiri. Belajar menerima diri sendiri, dan mensyukuri seksualitas kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Only God Knows Why (2)

Only God Knows Why (1)

Kapan Nikah?