Only God Knows Why (1)

Sekitar 10 tahun yang lalu, saya memiliki seorang pacar lelaki. Karena tuntutan pekerjaan kami menjalani relasi jarak jauh, namanya Septa Antoni. He was passed away a couple years ago. :( Saat dia berada di Bali, dia meminta ijin untuk membuat tato di dada, dan meminta saran tulisan apa yang cocok untuk ditorehkan di dadanya. Ini merupakan tatto pertamanya, dia ingin suatu kalimat yang bermakna dalam hidupnya. Waktu itu, hubungan kami baru berjalan 2 bulan, LDR pula. Saya merasa tak cukup mengenalnya sehingga bisa menyarankan kalimat yang tepat. Hingga akhirnya dia menemukan sendiri kalimat yang sesuai. Dia memilih kalimat “Only God Knows Why”. 

Saat membaca pesan darinya, saya sangat terkesan dengan kalimat itu. Sangat representatif dan related dengan kehidupan seorang gay. Sejak kecil saya sudah mengagumi tubuh lelaki, saat mulai puber, rasa kagum itu menjelma menjadi fantasi seksual. Saat SMA, saya mulai merasa bahwa saya seorang gay. 


Perasaan itu membuat saya terisolasi dengan diri saya sendiri, merasa kebingungan dengan apa yang saya rasakan. Waktu itu saya merasa membuat pilihan yang salah. dari situ saya mencoba menelusur mundur hidup saya, mencoba menemukan titik di mana saya memilih menjadi gay, dan berusaha untuk kembali ke jalan yang benar. Saya berusaha mencari tahu mengapa saya menjadi gay.

Saat SD, usia sekitar 8-10 tahun, saya pernah merasakan hubungan seks dengan teman sebaya. Mereka adalah tetangga saya. (Yeah, 2 langsung, pengalaman pertama langsung 3some) Saat itu tidak terjadi penetrasi, dan tidak satupun dari kami sudah mengalami puber. Saya sempat berpikir pengalaman itu yang membuat saya menjadi gay. Hanya saja kesimpulan prematur ini meninggalkan beberapa pertanyaan. Mengapa dua teman saya itu tidak jadi gay juga?  Setelah kami melakukan perzinahan itu, mereka berdua selalu cerita kalau dengan perempuan lebih enak lagi.  

Kami memang sangat berbeda, saya adalah anak rumahan, sedang mereka terkenal bandel. Saya tidak tahu apakah mereka benar-benar pernah berhubungan dengan perempuan atau tidak. Mereka berjanji akan mengajak saya kalau suatu hari ada perempuan yang mau “dipakai”. Hanya saja hal itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi adalah saya yang dipakai berkali-kali, di kamar saat rumah sedang kosong, atau di kebun tebu jika situasi rumah sedang ramai, kadang pula kami melakukan di bukit dekat rumah. Well Experienced.  Saat kami mulai tumbuh remaja, kami tak lagi bersama. Saya mendengar mereka sudah memiliki pacar perempuan. Ah iya, salah satu dari mereka ada yang menyukai kakak perempuan saya, tapi ditolak mentah-mentah sama kakak saya. Jangan-jangan saya cuma jadi pelampiasan dan balas dendam? :(  Hari ini mereka semua sudah berkeluarga. 

Mengapa suatu variabel yang sama bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda? Di antara kami bertiga, mengapa hanya saya yang menjadi gay? Apa karena mereka punya pengalaman dengan perempuan? Not really. Karena ada seorang kawan yang pengalaman seks pertamanya dengan perempuan, endingnya homo juga. 

Sejauh ini, dari semua literasi yang saya baca, memang belum ada kesimpulan yang pasti mengenai apa yang membentuk orientasi seksual manusia. 

Jika di tarik mundur lagi, sebelum kejadian lucknut itu terjadi, saya tinggal di tengah kota. Di suatu kampung yang padat penduduk. Di sana saya lebih banyak bergaul dengan perempuan. Saya adalah seorang pemalu yang susah bergaul. Sangat takut untuk keluar dari zona nyaman. Karena itu, saya lebih suka mengekor kakak perempuan saya kemanapun dia pergi. Karena itulah saya lebih sering bergaul dengan perempuan ketika di rumah. Jadi inikah sebabnya? Apakah karena sering bergaul dengan perempuan, saya jadi berjiwa perempuan dan menjadi gay? Entahlah… Di sekolah, saya merasa dekat dengan beberapa teman laki-laki, saat sudah merasa ada di zona nyaman saya akan sangat mudah membaur, dan memainkan permainan laki-laki. Sering kali saya merasa hidup penuh dengan paradoks 

Jadi mengapa saya gay??? 


Jujur saya tidak dekat dengan ayah saya. Dia bukan tipe orang yang bisa mengungkapkan perasaan secara terbuka. In Other Side, saya tipikal orang yang rasa sayang itu diungkapkan secara terbuka. Hal ini yang membuat kami tak bisa dekat. Bagi ayah, lelaki itu harus “tegar”, sedang saya merasa lemah. Dari perbedaan inilah kemudian terbangun tembok pemisah di antara kami. Apakah kerinduan ini yang kemudian membuat saya haus belaian lelaki?  Ya bisa jadi. Banyak orang yang mengalami hal serupa. Hanya saja, faktanya tidak semua orang mengalami daddy issue jadi auto gay. Lagi-lagi, terlalu prematur untuk menarik kesimpulan. 


Dan, akhirnya kalimat “Only God Knows Why” menjadi jawaban di tengah kebuntuan. Lantas apakah saya puas dengan jawaban ini? Tidak! Seperti kata Socrates, “Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani”.  Saya merasa tidak bisa bersembunyi di balik takdir Tuhan. Menerima kenyataan saya gay, dan menjalin relasi dengan lelaki, tidak pernah benar-benar memuaskan batin saya. If I was born this way, this way should me lead somewhere. Lanjut part 2


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Only God Knows Why (2)

Kapan Nikah?