Dalam pergaulan sehari-hari, saya sering kali mendapat
perlakuan diskriminatif dari orang-orang disekitar. Saya sering dikatakan tidak
normal, menyimpang, dan sakit karena menyukai sesama jenis. Perlakuan semacam
itu, tentu dialami semua teman-teman LGBTQ+ dan dilakukan secara masif. Stigma diperkuat dengan sederet ayat-ayat dari
kitab suci (yang sebenarnya tidak nyambung). Dan akhirnya homoseksual menjadi sesuatu yang
upnormal Bahkan, tak jarang teman-teman
LGBTQ+ sendiri menstigma diri tidak normal. Sebenarnya apa itu normal?
Dalam KBBI kata
normal memiliki dua definisi :
1. Menurut aturan
atau menurut pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau
kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan
2. Bebas dari
ganguan jiwa.
Definisi kedua dalam KBBI, kata normal dikaitkan dengan
kondisi kejiwaan seseorang. Sejak tahun 1973, APA (American Psychiatric Association ) telah
mengeluarkan homoseksual dari daftar ganguan jiwa (DSM). WHO juga telah sepakat
dengan APA pada tahun 1990 dengan mengeluarkan homoseksual dari ICD 10. Langkah
APA, dan WHO tentu saja didasarkan hasil
penelitian ilmiah di bidang psikiatri. Karena itu, untuk menyangkalnya juga
perlu didasarkan pada penelitian ilmiah pada bidang yang sama. Jadi, jika
ditinjau dari ilmu psikiatri tidak tepat jika kita mengatakan bahwa homoseksual
adalah sesuatu yang tidak normal.
Namun, bagaimana jika kita melihat pada definisi pertama.
Definisi “sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan”
dalam penjelasan di KBBI, dikaitkan dengan
kondisi fisik seseorang. Tidak berkaitan dengan homoseksualitas. Sedangkan pada
penjelasa sebelumnya, kita bisa mengambil beberapa kata kunci, yakni : pola yang umum, dan norma
atau kaidah. Dari sana kita langsung bisa menyimpulkan apa yang tergolong normal
akan sangat bergantung pada nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Dari sudut pandang nilai social kenormalan yang ada akan
sangat bersifat subjektif. Kata “pola
yang umum” dalam definisi kata normal di KBBI menunjukan apa yang dianggap
normal oleh masyarakat adalah yang secara subjektif diyakini sebagai sebuah
kebenaran oleh mayoritas. Karena
ditentukan oleh suara mayoritas, kebenaran tidak bersifat tetap, apalagi mutlak. Nilai-nilai sosial sangat
dipengaruhi oleh banyak factor yang sarat
dengan berbagai macam kepentingan. Pandangan heteroseksual sebagai sebuah
orientasi yang normal, merupakan buah dari kontruksi social. Demikian pula
dengan kaidah/norma agama. Kitab Suci yang menjadi acuan dari norma agama
diyakini datang dari Allah. Sehingga, bagi para pengikutnya, kitab suci diamini
sebagai sebuah kebenaran mutlak. Hanya saja perlu kita ingat, di dunia ini ada
ribuan agama, dan setiap agama bisa memiliki bererapa penafsiran dan aliran. Misal,
dalam domain Kekristean kita bisa menemukan Gereja Orthodox, Katolik, Lutheran,
Calvinis, Angllikan, Methodis, dll. Dan sangat memungkinkan, dalam satu gereja
beraliran sama, katakanlah Lutheran (atau
dalam internal calvinis, bahkan katolik sekalipun), mereka menemukan penafsiran
berbeda satu sama lain. Sama halnya dengan nilai social, apa yang dipandang
kebenaran dalam agama sering kali juga hanya ditentukan oleh suara mayoritas.
Homoseksual dicap sebagai sebuah penyimpangan,
tidak normal, karena demikianlah suara mayoritas yang ada dalam
masyarakat kita.
Ijikan saya mengajukan satu pertanyaan reflektif bagi
kita semua. Apakah suara mayoritas adalah sebuah kebenaran? Bukankah
agama-agama mayoritas dan dominan yang ada hari ini, pada awalnya hanyalah
suatu aliran-aliran kecil, minoritas dan dinilai sesat. Lalu kemudian
berkembang menjadi besar. Bukankah semua itu hanya siklus sejarah yang terus
berulang?
Layakah sesuatu yang bersifat subjektif dan multitafsir
dipandang sebagai sebuah kebenaran absolut, dan dijadikan dasar untuk
menjustifikasi orang?
So, am I normal? Nope, im not. I am what i am, and proud
of it.
Komentar
Posting Komentar