Menafsir Ulang Kitab Kejadian
Tujuh belas Mei diperingati sebagai IDAHOBIT,
International Day Against Homophobia, Bipobhia and Transphobia. Hari ini
diperingati dengan berbagai macam kampanye keberagaman seksualitas. Perayaan
ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa homoseksualitas adalah
sesuatu yang alami. Selain itu IDAHOBIT juga mendorong penghapusan diskriminasi
yang kerap diterima kelompok LGBTQ+.
Di kalangan aktivis LGBTQ+ di Indonesia, tentun saja hari
ini juga diperingati. Menjelang 17 Mei, banyak kawan yang mengundang saya untuk
bergabung di beberapa web binar yang membahas isu LGBTQ+.
Saya masih ingat, beberapa tahun lalu, saya diundang
sebuah LSM di Jogja untuk merayakan IDAHOT. Saya diundang untuk bergabung dalam
aksi mereka. Kami berkumpul bersama di suatu tempat, dengan membawa berbagai
macam poster yang menyuarakan keberagaman seksualitas, dan tentu saja Pride
Flag. Tidak semua peserta aksi ikut berkumpul di sana. Beberapa panitia,
bersiaga di titik tertentu, yakni di jalan tempat akses menuju lokasi aksi.
Mereka bertugas memantau kondisi, kalau-kalau ada ormas pemegang kunci surga
datang.Secara berkala mereka yang
melaporkan situasi, seandainya ada penampakan gerombolan musuh, maka kami
akan segera kembali ke markas sebelum mereka tiba. Syukurlah, acara bisa
berjalan lancar tanpa gangguan. Ironi, ketika kita berusaha melawan homophobia
dengan penuh ketakutan. Setiap kali saya mengikuti acara LGBTQ+, panitia
selalu mengingatkan agar peserta tidak membagikan lokasi acara di sosial media.
Tampaknya perjuangan LGBTQ+ di Indonesia untuk memperoleh kesetaraan masih
sangatlah berat.
Perjuangan kelompok LGBTQ+, di Indonesia, sering kali menghadapi
tantatangan dari kelompok religius. Bagi masyarakat Indonesia, agama masih
dipandang sebagai sesuatu yang penting. Sehingga apa yang dinilai berlawanan
dengan hukum agama, takkan diberi ruang untuk menyuarakan pendapatnya Benarkah
agama melarang homoseksual?
Agama-agama Samawi
gemar sekali menyudutkan kelompok lgbtq dengan kisah Sodom Gomora, atau kaum Nabi
Luth. Agama non samawi, yang sebenarnya punya pandangan berbeda dan lebih
beragam, suaranya pun kemudian tenggelam tak terdengar. Akirnya suara yang
terdengar hanyalah semua agama melarang homoseksual.
Agama memang penting dan baik. Namun, tidakkah kita
sedikit berpikir adalah sebuah ironi, jika agama yang secara etimologi berarti tidak
kacau, berfungsi mengatur kehidupan manusia agar tercipta suatu harmoni dan
keteraturan, justru dijadikan sumber
kebencian, dan menyerang semua yang berbeda. Semua itu terjadi, karena kita
salah memahami agama. Agama kita pandang sebagai aturan yang biner, semua hanya
berputar pada aturan benar salah, tanpa memandang realitas kemanusian kita.
Jika kita melihat sejarah IDAHOBIT, 17 Mei dipilih karena
pada hari itu, pada tahun 1990, Homoseksualitas dihapus dari daftar ganguan
jiwa. Awalnya homoseksualitas dianggap sebagai sebuah penyimpangan (parafilia),
tetapi setelah melalui penelitian yang panjang, tidak ditemukan adanya
tanda-tanda ganguan kejiawaan pada orang-orang homoseksual. Pada hari ini,
telah banyak jurnal yang membuktikan bahwa keputusan WHO merupakan keputusan
yang benar. Homokseksualitas ternyata banyak dipengarui faktor-faktor biologis.
Seperti DNA, hormon, dan struktur otak. Bahkan homoseksuaL juga ditemukan pada
lebih dari 500 spesies. Hal tersebut semakin memperkuat bahwa orientasi seksual
adalah sesuatu yang alami. Homoseksual hanya sekedar bentuk varians orientasi
seksual, bukan suatu gangguan. Sayangnya, banyak orang yang mengabaikan
fakta-fakta ilmiah, alasannya karena agama melarangnya.
Coba kita tengok sejenak abab kegelapan bangsa Eropa. Di
masa itu, gereja menguasai segala bidang termasuk sains. Dahulu, orang-orang
percaya bumi itu datar, dan bumi merupakan pusat semesta karena gereja
mengatakan demikian. Klaim tersebut tidak perlu menyertakan bukti, cukup
melampirkan ancaman neraka disertai beberapa ayat kitab suci. Setelah sains
semakin maju, munculah teori yang menyebut bumi itu bulat dan mataharilah yang
menjadi pusat semesta. Teori tersebut, walau sebenarnya tidak ada sangkut
pautnya dengan iman, langsung dianggap sebagai sebuah kesesatan. Galileo Galeli
menjadi tahanan ruumah, setelah menjalani sidang yang diadakan gereja di bawah
Paus Urbanus VIII karena mendukung teori bumi bulat yang dicetuskan Copernicus.
Semakin hari, semakin maju ilmu pengetahuan, akhirnya
kebenaran bumi bulat semakin terbukti. Dan gereja pun mengakui hal tersebut. Tidakakah
semua itu terdengar konyol?
Penting bagi kita untuk belajar dari sejarah. Kitab suci,
sebagai sumber hukum agama, haruslah diletakan pada tempat semestinya. Kita
tidak bisa menjadikan Kitab Suci bagai rujukan dalam segala hal, terutamanya
sains. Harus kita sadari bahwa kitab suci merupakan buku sastra, dan bahasa-bahasa
yang terkandung di dalamnya memiliki makna metafor. Ketika ada kutipan Mazmur
yang menyebutkan Matahari beredar dari ujung ke ujung (bdk Mzm 19), bukan
berarti bumi itu datar. Mazmur tersebut ditulis sebagai ungakapan syukur pujian
kepada Allah, bentuk kekaguman terhadap alam semesta, bukan untuk menjelaskan
bentuk semesta ini.
Karena itu, kita perlu memandang dari sudut pandang yang
berbeda, dalam memahami kisah penciptaan. Dalam kitab kejadian tertulis Allah
menciptakan Adam dan Hawa, lalu memerintahkan beranak cucu. Namun, kisah
tersebut bukanlah gambaran penciptaan yang sebenarnya. Kisah tersebut merupakan
hasil refleksi manusia terdahulu tentang bagaimana semesta beserta segala
isinya tercipta. Adam dan Hawa bisa jadi merupakan gambaran sifat maskulin dan
feminim, tetapi bukan berarti hanya tercipta dua orang. Jika memang hanya ada
Adam dan Hawa dengan anak siapa Kain dan Habel menikah? Sifat maskulindan
feminim juga tidak boleh dipahami hanya melekat pada jenis kelamin tertentu.
Dalam kejadian 2 tertulis Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Jika demikian
adanya, bukankah hal ini bisa diartikan, bahwa sifat feminim perempuan juga
diambil dari Adam? Artinya lelaki pada
dasarnya memilik sifat feminim. Fakta ilmiah menyebutkan baik laki-laki dan
perempuan, keduanya memiliki hormon testoteron, progesteron, dan esteteron. Maka
tidaklah salah jika kita menduga penciptaan Adam dan Hawa merupakan gambaran
bahwa manusia adalah mahkluk seksual yang ada dalam spektrum antara
maskulinitas dan feminimitas.
Lalu apakah manusia harus beranak cucu? Sekali lagi,
kitab suci merupakan hasil refleksi. Buku itu ditulis oleh manusia dengan ilham
Roh Kudus. Manusia sebagai pena Allah, terikat pada suatu kebudayaan dan
nilai-nilai yang berlaku di jaman itu. Abraham hidup dengan cara
seminomaden.Eskalasi perang antar suku sangat tinggi saat itu. Membangun suatu
pasukan yang kuat menjadi sangat penting. Karena itulah reproduksi menjadi
sangat vital dijaman itu. Inilah alasan mengapa beranak cucu sangat ditekankan
sejak awal kitab kejadian. Ini semua berkaitan dengan politik kekuasaan. Ada
beberapa kata kunci yang bisa kita ambil, anak cucu, bertambah banyak, kuasai
dunia.
Nilai yang berlaku saat itu banyak anak artinya orang
yang terbekati. Kemandulan dianggap sebagai sebuah kutuk. Semua itu demi
eksistensi suku. Namun, ternyata reproduksi bukan menjadi tujuan utama manusia.
Yesus menyebutkan tidak semua orang diciptakan untuk bereproduksi. “ada orang
yang diciptakan demikian” menunjukan bahwa seksualitas tidak hanya bertujuan
untuk reproduksi. (bdk Mat 19:12)
Sodom dan Gomora
Selain kisah penciptaan, kebencian terhadap kelompok
homoseksual juga bersumber dari kisah Sodom, dan Gomora (Kej 19). Dalam kitab
kejadian, tidak disebutkan secara eksplisit tentang orientasi seksual. Setelah
dua malaikat Allah tiba di rumah Lot, penduduk kota mengepung rumahnya dan
berkata hendak memakai dua orang tamu yang ada di sana. Kata “pakai” memang
merujuk pada hubungan seks. Namun, hubungan seks yang dimaksud bukan
berdasarkan perasaan suka atau karena orientasi seksual. Hubungan seksual yang
akan dilakukan sebenarnya bernuansa politis. Mereka ingn berhubungan seks
dengan dua malaikat bertujuan untuk merendahkan mereka. Seperti kita tahu,
perempuan dalam sosial kuture jaman itu diletakakan dalam kasta kedua. Dengan
memperkosa dua orang itu, mereka akan menjadi seperti perempuan yang berada di
kasta kedua. Perhatikan baik-baik kalimat yang ada di kejadian 19:9, “Orang ini
datang ke sini sebagai orang asing dan dia mau menjadi hakim atas kita!” Dari
kalimat itu, kita bisa melihat, penduduk kota sodom digerakan bukan karena
napsu, bukan karena satu kota homo semua, melainkan oleh pra sangka dan
kebencian. Dengan menyebut dua orang malaikat orang asing, dan menuduh mereka
hendak menjadi hakim, kita bisa melihat penduduk kota sodom menilai keberadaan
orang asing sebagai ancaman, sehingga mencoba untuk menyerang mereka terlebih
dulu. Dengan memakai, mereka ingin menunjukan dominasi mereka. Perkosaan
politis semacam ini, masih sering terjadi. Salah satunya, terjadi di Indonesia
saat kerusuhan Mei 98.
Lagi pula
Yehezkiel meneybutkan disebutkan dosa Sodom dan Gomora adalah dosa kesombongan,
dan keserahkaan, serta tidak peduli dengan kesulitan orang lain. “Kecongkakan, makanan yang berlimpah-limpah
dan kesenangan hidup ada padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi
ia tidak menolong orang-orang sengsara dan miskin.” (Yeh 16:49-50)
Kata pemburit yang diucapkan Rasul Paulus untuk umat di
Korintus (bdk 1 Kor 6:9-10) juga menjadi salah satu senjata untuk menyerang
homoseksual. Padahal, kata pemburit (lagi-lagi) hanya merujuk pada perilaku seksual.
Itupun berkaitan dengan ritual pagan. Bukan, hubunganan seks yang didasarkan
kesepakatan dua orang yang saling mencintai.
Jadi bagaimana kita harus bersikap? Agama dan sains
adalah dua hal yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Kita tidak bisa
menjadikan agama sebagai rujukan sains. Agama kita gunakan untuk menerangi
sains. Dalam isu homoseksual, kita perlu membuka diri terhadap fakta-fakta
ilmiah seputar homoseksual. Tanpa perlu mempertentangkannya dengan agama. Bijaknya,
adalah bagaimana kita mengunakan agama untuk mencari jawaban terbaik atas
realitas yang ada. Bagi saya, agama berfungsi untuk menfalitasi manusia
berelasi dengan Allah. Karena itu, agama mutlak harus memberi ruang
seluas-luasnya bagi semua orang untuk mencari Allah. Bukan, justru menjadi alat
untuk menyebarkan kebencian, dan berakibat membuat orang menjauh dari Allah.
Karena saya percaya Allah adalah CINTA.

Komentar
Posting Komentar