Kekristenan dan LGBTQ+
Agama dan
Seksualitas. Barang kali di seluruh penjuru bumi, kedua hal tersebut
merupakan dua hal paling sensitif untuk dibahas, sekaligus paling menarik untuk
didiskusikan.
Seksualitas merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan secara
terbuka, hal ini melahirkan sebuah kesan seksualitas adalah sesuatu yang
“menjijikan”. Seks sering kali diidentikkan dengan napsu, atau dalam bahasa
Rasul Paulus keinginan daging, yang bertentangan dengan jalan kekudusan. Tak
heran jika kemudian masyarakat yang religius cenderung menilai moralitas
manusia dari perilaku seksualnya. Namun, bagaimanapun juga seksualitas
merupakan bagian tak terpisahkan manusia. Seks dan kekudusan kemudian
dipertemukan oleh agama dalam institusi perkawinan. Dalam Perkawinan, Allah
bekerja dalam diri manusia untuk proses penciptaan (prokreasi).
Hanya saja realitanya seksualitas manusia tenyata beragam.
Orientasi seksual tidak hanya heteroseksual. Tidak semua orang secara alami
tertarik pada lawan jenis. Hal ini telah dibuktikan secara ilmiah. Ada ratusan
binatang yang ternyata juga memiliki orientasi homoseksual. Seperti pingguin,
lumba-lumba, singa, dll. Pembatasan seksualitas pada kepentingan prokreasi,
meninggalkan masalah bagi kelompok LGBTQ+. Kelompok ini, kemudian terstigma
sebagai kelompok yang menyimpang dan menyalahi kodrat. Bukti ilmiah yang
ditemukan seolah tidak lagi berlaku. Agama selalu menjadi tantangan terbesar
bagi kelompok LGBTQ+, dan berdampak buruk bagi seorang LGBTQ+. Saya sendiri
merasakan tekanan yang begitu besar saat menghadapi masalah ini. Saya merasa, saya adalah orang yang paling
berdosa di dunia. Ketika orientasiseksual dihadapakan pada agama, saya
menemui jalan buntu. Semua itu membuat saya cukup frustasi, dan membenci diri
saya sendiri. (perasaan yang saya alami saat saya masih buta sama sekali tentang
SOGIE)
Seiring berjalannya waktu, saya kemudian menemukan bahwa ada
penafsiran lain dari kitab suci. Suatu tafsir yang progesif dan mengupas
masalah sesualitas secara komperhensif. Dalam tafsir itu, homoseksualitas
bukanlah sesuatu penyimpangan dan sama seperti heteroseksual, pasangan
homoseksual juga bisa dipersatukan dalam perkawinan. Lalu apakah kegelisahan
saya berakhir?
Tentu saja tidak. Tafsir progresif, alih-alih mengakhir
masalah yang ada, justru memasukan saya dalam sebuah dilema baru. Muncul sebuah
pertanyaan : “Apakah tafsir progresif tersebut sungguh suara kebenaran, atau
jangan-jangan hal itu hanya sekadar pembenaran?”
Tafsir-tafsir itu lahir dari beberapa pendeta gereja-gereja
reformasi. Dan, oleh gereja-gereja reformis lainnya, dianggap sebagai suara
minor. Ada juga yang tanpa ragu menyebut penafsiran seperti itu adalah tafsir
sesat. Sementara saya berasal dari Gereja Katolik. Gereja Katolik berpendapat
orientasi seksual homoseksual sebagai seuatu yang alami, dan bukan dosa.
Tetapi, Gereja menolak segala bentuk perilaku seksual yang tidak ditujukan
untuk prokreasi. Karena itulah dalam, perkawinan dalam Gereja Katolik hanya
antara laki-laki dan perempuan. Sebagai seorang yang dibaptis, dan tumbuh dalam
Gereja Katolik saya tidak bisa serta merta menerima ajaran dari gereja lain.
Meski ajaran itu jauh lebih menguntungkan bagi saya. Menerima ajaran
gereja lain, ibarat mengkhianati ibu kandung saya, untuk bergabung dengan ibu
tiri. Saya tidak bisa melakukan itu, walaupun pada awalnya, keberadaan Ibu Tiri
adalah karena Bunda Gereja yang berselingkuh dengan kekuasaan politik.
Lalu apa yang salah? Yang salah adalah cara pandang saya
dalam beragama. Iman Kristen bukanlah iman yang hitam putih. Iman yang berhenti
pada aturan benar dan salah. Ini boleh, ini tidak, dan yang itu dosa. Tidak!
Iman Kristen bukan Iman yang seperti itu. Definisi Iman dalam kekristenan
adalah jawaban atas tawaran keselamatan ALLAH. Manusia diundang untuk menjalin
relasi dengan Allah.Karena itulah iman didasarkan pada pengetahuan akan siapa
manusia, siapa “aku”, dan siapa “Allah”. Dalam beriman, manusia diajak
mengenali dirinya secara utuh termasuk seksualitasnya, sebagai ensensi dari
kehidupan manusia. Manusia diajak bergumul dengan dirinya sendiri. Bukan
berdebat tentang tafsir mana yang benar. Bisa jadi keduanya benar, dan sangat
mungkin semuanya salah. Karena iman adalah sesuatu yang sangat personal. Relasi
yang dijalin antara Allah adalah relasi yang privat dan intim. Gereja bertugas
menfasilitasi manusia untuk bisa menjalin relasi dengan Allah.
Secara umum, semua domain kekristean mengakui bahwa
homoseksual (orientasi seksual) adalah bagian dari realitas kehidupan. Gay ada,
karena Allah berkehendak. Allah memiliki suatu tujuan dengan menjadikan
seseorang homoseksual. Tujuan itu adalah tujuan keselamatan.
Kita tidak akan pernah bisa menyimpulkan secara bulat, apakah relasi homoseksual (Termasuk hubungan seksual genital) dilarang atau tidak dalam Kekristenan. Kita bisa bertanya, mungkinkah kita menemukan Allah dalam relasi homoseksual? Jawaban atas pertanyaan itu tentu akan sangat personal dan beragam. Untuk mengukurnya kita bisa merujuk pada surat Rasul Paulus. Apakah kita hidup menurut roh atau daging dengan menjalin relasi homoseksual (berlaku bagi pasangan hetero seksual) dapat dilihat dari buah yang dihasilkannya.
Tetapi buah Roh
ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan,
kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang
hal-hal itu. (Gal 5: 22-23)

Komentar
Posting Komentar