Orientasi Seksual VS Perilaku Seksual

 

Apa yang umumnya terpikirkan dalam masyarakat kita, ketika mendengar kata homoseksual, atau LGBT? Saya memang tidak pernah melakukan survey secara resmi. Namun, sejauh pengamatan saya di berbagai media, setiap kali issue LGBTQ+ mencuat, dalam wawancara yang dilakukan media, masyarakat cenderung memberi jawaban yang negatif. Homoseksual identik dengan: dosa, sex bebas, sodom/kaum Nabi Lut, HIV, penyimpangan seksual, dll. Jika pun ada masyarakat yang berusaha berpikir terbuka dengan mengatakan hal positif, pada akhir statement mereka tetap saja mengatakan homoseksual adalah dosa. Menyedihkan. Begitulah realita yang ada. Mayoritas masyarakat kita masih memandang LGBTQ+ secara negatif. Jangankan masyarakat umum, dalam internal komunitas LGBTQ+ pum masih banyak yang berpikir demikian. Apa penyebabnya?

Stigma negatif terhadap LGBTQ+ lahir, karena kita tidak mampu melihat isu ini secara utuh. Masyarakat hanya melihat LGBTQ+ dari perilakunya saja, itupun yang dilihat hanya yang negatif. Padahal seksualitas memiliki banyak unsur. L,G,B merupakan siangkatan dari Lesbian, Gay, dan Biseksual. Ketiganya ialah idenitas seksual orang-orang yang memiliki orientasi seksual non hetero seksual. Untuk membahas ini setidaknya kita harus melihat dua unsur seksualitas, yakni orientasi seksual dan perilaku seksual. Sedangkan  T, Trangender, ialah idenitas gender bagi mereka yang berganti peran gender. Pembahasan tentang transgender kita harus memahami apa itu gender.

Dalam kesempatan kali ini, kita akan berfokus membahas perbedaan antara orientasi seksual dan perilaku seksual. Orientasi seksual adalah ketertarikan secara emosional, fisik dan seksual pada jenis kelamin tertentu. Ada 4 orientasi seksual yang sering kita dengar, heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Namun, jika kita mempelajarinya lebih lanjut ada lebih dari 4, setidaknya ada 8.  Sedangkan perilaku seksual segala tindakan yang didorong oleh seksualitas kita. Perilaku seksual tidak terbatas pada hubungan seksual genital, atau intercourse saja (ML). Blog ini, memandang seksualitas secara luas. Dengan definisi itu, segala tindakan kita sebagai manusia bisa dikategorikan sebagai perilaku seksual.

Antara oreintasi seksual dan perilaku tidak selamanya sejalan. Sangat memungkinkan homoseksual berperilaku heteroseksual, demikian pula sebaliknya. Seorang gay bisa menikah dengan perempuan demi status sosial. Dengan menikah, perilaku seksualnya menjadi herteroseksual, tetapi secara orientasi dia tetap seorang homoseksual. Dalam lingkungan yang homogen (penjara atau asrama) seorang heteroseksual bisa terdorong berperilaku homosesksual untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya. Bisa pula seseorang berperilaku tidak sesuai dengan oreintasinya karena dipicu oleh faktor ekonomi.

Untuk memahami lebih lanjut, kita akan membahas hal ini dalam sebuah ilustrasi. Ada sepasang suami istri yang tinggal di kompleks perumahan. Suatu hari, mereka mendapat tetangga baru seorang lelaki muda yang secara fisik tipe dari istri tersebut. Meski sudah memilik suami, mungkinkah istri tadi tertarik pada tetangga barunya? Sangat mungkin bukan? Apakah wajar? Saya harap kita masih sepakat untuk mengatakan hal itu sangatlah wajar. Terakhir salahkah istri tersebut jika menyukai tetangganya? Ragu untuk menjawab? Mungkin kita berpikir, bagi seorang bersuami perasaan seperti itu tidak seharusnya ada, di sisi lain rasa kita juga menyadari ketertarikan pada seseorang adalah sesuatu yang natural.

Mari kita coab melihat ilustrasi yang berbeda. Pernah puasa? Saat berpuasa pasti kita merasa lapar. Rasa lapar bagi orang yang berpuasa adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Rasa lapar itu, kemudian akan mendorong kita untuk makan. Apakah dorongan itu akan membatalkan puasa? Tentu saja tidak. Jika kita akhirnya mengikuti dorongan itu dan makan, barulah hal itu membatalkan puasa kita.

Orientasi seksual pada dasarnya sama persis dengan rasa lapar. Rasa ketertarikan dengan seseorang adalah sesuatu yang sangat alami, baik itu terhadap lawan jenis, sesama jenis, bahkan kepada keduanya sekaligus. Rasa itu bersifat netral, tidak bisa dijustifikasi benar dan salah. Sama halnya dengan rasa lapar, rasa itu juga akan memberi dorongan untuk melakukan sesuatu. Ketika rasa ketertarikan itu diaktualisasikan menjadi tindakan itulah yang kita sebut dengan perilaku seksual. Perilaku seksual tidak lagi bersifat netral, karena hal itu akan membawa konsekuensi pada diri sendiri dan orang lain. Namun, saya tidak ingin menilai perilaku seksual secara hitam putih, benar-salah, maupun halal atau haram. Saya ingin melihat perilaku dari dampaknya. Kita bisa mebagi dampaknya menjadi dua, 1.) bersifat destruktif, 2.) konstruktif. Jika tidak dikendalikan perilaku seksual bisa sangat destruktif. Kembali ke ilustrasi pertama kita. Seorang perempuan bersuami bisa saja tertarik dengan orang lain, ketika rumput tetangga memang lebih mengoda. Jika perempuan tadi mulai mendekati tetangganya, itu sudah beda cerita.Kita bisa tertarik pada seseorang, tetapi bukan berarti bisa berbuat semau kita. Perilaku seksual mutlak perlu diatur dan dikendalikan agar bersifat konstruktif.

Nah, pertanyaanya sekarang bagaimana sebaiknya orientasi non heteroseksual dikendalikan dan diatur? Jawaban idealnya, sebenarnya adalah sama dengan bagaimana kita mengendalikan orientasi seksual heteroseksual. Walaupun kenyataannya tidak akan semudah itu. Karena seksualitas manusia terdiri dari banyak aspek dan dipengaruhi berbagai macam nilai. Sehingga, tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan tadi. Ada banyak factor yang harus dipertimbangkan, seperti HAM, agama, norma social, bahkan kondisi ekonomi dan psikologi dalam masyarakat.

 Setiap orang, memiliki caranya sendiri, karena setiap individu tercipta berbeda dan unik. Setiap orang punya cara berpikir berbeda satu sama lain, mempunyai nilai berbeda,dan dalam lingkungan berbeda. Satu solusi belum tentu sesuai bagi orang lain. Mengikatkan diri dalam institusi pernikahan bisa menjadi solusi di Eropa, karena mereka mampu berpikir komperhensif dan terbuka. Pasangan gay di Indonesia, jika memiliki kemapanan finasial bisa saja melakukan ekspatriat untuk menikah di negara-negara Eropa. Di Indonesia, jika ada yang nekat melangsungkan pernikahan sesama jenis, mereka  bisa saja justru mati dirajam.

Ada pula orang yang menghayati homoseksualitas sebagai sebuah ujian, karena itulah mereka memilih hidup selibat demi menghindari dosa. Ada pula yang pada akhirnya memilih menikah dengan lawan jenis, sebagai bentuk iktiar kembali ke “kodrat”. Walupun mereka menyadari pilihan itu akan membuat batin mereka tersiksa. Sah-sah saja mereka berpikir demikian, dan tidak ada yang salah.  Hanya saja, kita harus ingat tidak semua orang berpikiran demikian. Karena itu tidak mungkin pula diterapkan kepada semua orang.

Hal terpenting, sebenarnya adalah bagaimana kita mampu mengenali diri kita dan lingkungan kita dengan sebaik-baiknya. Dengan begitu kita memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan diri sendiri, sehingga mampu memutusakan apa yang baik bagi diri kita. Dan, yang tak kalah pentingnya, kita harus senantiasa memahami bahwa kita hidup di tengah keberagaman. Seseorang mungkin tidak setuju dengan pendapat atau pilihan kita, demikian pula kita takkan selalu setuju dengan orang lain. Sikap saling menghormati harus senantiasa dijaga. Jangan sampai kita menghakimi satu sama lain. Hidup kita adalah pilihan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Only God Knows Why (2)

Only God Knows Why (1)

Kapan Nikah?