The Boys in the Band (2020)

 


Boys in The Band  (2020) merupakan film karya Joe Mantello yang diadaptasi dari drama broadway  dengan judul yang sama, ditulis oleh Mart Crowley. Sebelumnya,  Film ini pernah digarap juga oleh William Friedkin di tahun 1970.

Walaupun kita mendapati kata “band” dalam judulnya, film ini sama sekali tidak berkaitan dengan boy band ataupun sebuah grup music. Film ini hanya menceritan sekelompok geng rumpik,  terdiri dari  Michael, Harold, Donald, Larry, Emory, Bernad dan Hank,  yang sedang merayakan ulang tahun salah satu anggotanya, Harold.

Ketika sedang mempersiapkan pesta, tiba-tiba saja, Michael yang bertindak sebagai tuan rumah dalam pesta tersebut,  mendapat telepon dari teman kuliahnya dulu, yakni Alan McCharty, dan meminta untuk bertemu malam itu. Michael sudah berusaha menolak, tetapi Alan memaksa untuk bertemu walau hanya sebentar. Michael pun dengan terpaksa mengabulkan keinginan Alan yang sepertinya sedang memiliki masalah serius. Sebelum Alan datang, Michael berpesan pada teman-temannya agar tidak terlalu tampil “mencolok”.  Michael khawatir idenitasnya sebagai gay terungkap oleh Alan. Permintaan itu memicu kontroversi dalam kelompok mereka, terutama Emory, yang memang  paling ngondeg diantara mereka.  Ada yang berpendapat bahwa  Alan sebenarnya sudah tahu, ada pula yang mengatakan  tak seharusnya Alan datang dan merusak acara mereka. Kontroversi berakhir setelah Alan  kembali menelepon untuk membatalkan kunjungan.

Michael bisa bernapas lega dan melanjutkan pesta. Namun, saat sedang asik menari, tentu mereka  tampak feminim, tiba-tiba Alan muncul di tengah-tengah mereka. Michael segera  terkena serangan “gay panic” dan berupaya segalanya terlihat “normal”.  Emory tanpa basa-basi  langsung menampakan ketidak-sukaannya pada Alan. Aura  “diva”  semakin terpancar darinya.  Alan tanpak bingung dan merasa aneh berusaha untuk membaur.  Alan sebenarnya bisa beradaptasi dengan cukup baik, setelah dia mulai mengobrol dengan Hank. Di antara mereka, Hank lah yang tampak paling “normal” di mata Alan. Hank memang telah menikah dan memiliki anak, tetapi memilih berpisah untuk tinggal bersama Larry kekasihnya. Ketika situasi memanas, Alan lantas memukul Emory.  Pesta ulang tahun segera berubah menjadi bencana. Alan akhirnya pun mengerti apa yang sedang terjadi di sana. Bahkan dia juga tahu Hank berpacaran dengan Larry.

Mereka saling bertengkar dan menyalahkan, Michael dan Harold saling sindir kehidupan masing-masing. Michael yang geram kemudian  membuat sebuat permainan. Dia meminta setiap peserta untuk menelepon orang yang dicintai atau pernah dicintai mengungkapan perasaan padanya. Permainan sederhana itu berubah menjadi  sangat emosional. Banyak luka-luka lama yang kemudian terungkap dalam permainan tersebut.

Ternyata Michael punya tujuan khusus membuat permainan itu. Saat kuliah, Alan pernah melakukan hubungan sex dengan seorang laki-laki. Alan mengatakan dia hanya sekadar “kilaf”. Namun, Michael menuduh Alan juga seorang homoseksual, karena hubungan sex yang dilakukannya tidak berlangsung sekali. Baginya, tidak ada “kilaf” yang bisa terjadi berkali-kali.  Michael berusaha memaksa Alan mengakui itu dengan meminta dia menelepon pria itu dan mengatakan bahwa dia mencintainya.

Alan pun menelepon seseroang dan mengatakan bahwa dia sedang bersama Michael, dan Michael membuatnya sadar bahwa Alan mencintainya. Michael bersorak gembira, mengira dia telah berhasil membuktikan bahwa Alan juga seorang gay. Tapi ternyata, Alan menelopon istrinya. Terungkaplah bahwa Alan datang mencari Michael karena dia sedang bertengkar  dengan istrinya dan membutuhkan teman bercerita. Usai menelepon istrinya Alan meninggalkan pesta, dengan menyisakan sebuah misteri. Tidak dijelaskan lebih lanjut, apakah kejadian masa lalu itu sekedar “kilaf”  atau lebih dari itu.

Cerita ini pertama kali dimainkan di Broadway  pada April 1968,  saat isu homoseksualitas masih sangat kontroversial.  Baru di tahun itulah homoseksual  dihapus dari DSM oleh APA. Meski sudah lama ditulis, faktanya pesan dalam  film ini selalu relevan bagi komunitas LGBTQ+, bahkan di Amerika sekalipun.  Seorang  gay sering  terlihat ceria - gay  secara harfiah berarti ceria-, tetapi  pada dasarnya selalu menyimpan luka. Luka-luka itu selalu berusaha untuk ditutupi. Tanpa kita sadari, menyimpan luka-luka ibarat menyimpan bomb waktu yang siap meledak kapan saja. Seseorang akan menjadi begitu rapuh dan dengan mudah “ke-trigger”.

Hal itu tergambarkan dengan baik dalam film Boys In the Band. Di awal film kita akan menikmati adegan yang penuh keceriaan. Kita bisa melihat tingkah lucu Emory, dan obrolan mereka  yang ceplas-ceplos. Di pertengahan film keceriaan itu berubah dratis menjadi adegan penuh kemarahan dan kesedihan.  Isu pengintregrasian diri/peneriman diri, selalu menjadi isu utama bagi seorang homoseksual.Hal ini memang bukan sesuatu yang mudah dilakukan, ketika jati diri kita harus dibenturkan dengan berbagai nilai di masayarakat. Pergulatan batin seorang LGBTQ+ yang sangat krusial terangkum dengan sempurna dalam film yang sederhana ini.  Dalam film ini, kita bisa melihat bagaimana seorang gay dihadapakan pada nilai agama, social, tekanan untuk menikah, sampai dengan lika-liku romantika pasangan homoseksual. Setiap karakter dan dialognya mampu membawa pesan yang begitu kuat bagi penontonnya.  

Film ini sangat layak ditonton ketika kita sedang membutuhkan hiburan, sekaligus sedikit merefleksikan hidup sebagai bagian dari komunitas LGBTQ+.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Only God Knows Why (2)

Only God Knows Why (1)

Kapan Nikah?