The Cass Theory : Perlukah Coming Out?

 



Suatu malam, saya pergi berduaan dengan adik bungsu saya. Entah mengapa, tiba-tiba saja saya ingin coming out padanya. Sementara ini saya hanya coming out pada mama, dan kami sepakat bahwa cukup kami berdua yang tahu. Namun, selalu saja  ada dorongan yang besar untuk melanggar kesepakatan itu.

Tanpa coming out, kemungkinan besar adik saya sudah tahu. Saya sering kali secara terbuka mengkritisi sistem kontruksi gender, dan menolak diperlakukan sebagai laki-laki, dan ketika bicara tentang  LGBTQ+ saya sering kali memberi sinyal bahwa saya bagian dari mereka. Selain itu, dalam beberapa kali kesempatan, tanpa sengaja saya memunculkan ekspresi kekaguman saya pada lelaki secara berlebihan. Dari situ, saya menduga adik saya sudah tahu siapa saya. Hanya sekarang yang menjadi pertanyaan, perlukah mengkonfirmasi dugaannya itu.

Coming out selalu menjadi isu sensitif bagi seorang LGBTQ+. Bukan hanya sensitif, melainkan juga krusial. Stay in the closet, berpura-pura menjadi orang lain merupakan sesuatu yang melelahkan. Menyimpan rahasia sama saja dengan menyimpan beban yang berat. Di sisi lain, membuka idenitas bisa sangat berbahaya. Seorang bisa terancam mengalami persekusi, diskriminasi, dan kekerasan, terancam kehilangan pekerjaan atau dikeluarkan dari sekolah. Kasus-kasus semacam itu bahkan masih terjadi di negara-negara barat yang sudah sangat terbuka. Di Indonesia, beberapa orang dari internal LGBTQ+  berpendapat bahwa coming out merupakan kebodohan yang hakiki, karena sama saja dengan mengumbar aib.  Jadi perlukah kita coming out?

Coming out sebenarnya bukan sekadar membuka idenitas ke publik,  melaikan lebih pada bagaimana seseorang mengintergrasikan idenitasnya ke publik. Proses pengtigegrasian diri ini hanya akan terjadi jika kita mampu  mengenali dan menerima diri kita dengan baik. Viviane cass, seorang psikolog dan ahli di bidang seksualitas manusia, mengembangkan sebuah teori yang mengambarkan tahapan-tahapan yang dialami seseorang dalam menyadari dan menerima  idenitas sebagai homoseksual/biseksual. Teori ini disebut denga the case theory dan terdiri dari 6 tahap.

1. Idenity confusion : Seperti namanya confusion yang berarti kebingungan  pada tahap ini kita akan merasa bingung pada diri kita. Kita akan mulai menyadari ada perasaan-perasaan yang berbeda. Merasakan ada sesuatu yang bergetar ketika melihat sesama jenis. Biasanya tahapan ini terjadi pada masa puber, dan pra puber. Namun, tidak memungkinkan fase ini terjadi jauh setelah masa puber atau bisa pula lebih cepat. Seseorang yang tumbuh di lingkungan konservative mempunyai kecenderungan memendam perasaan menyukai sesama jenis. Kebingungan yang dialami sangat bisa berubah menjadi penolakan. Bahkan berkembang menjadi kebencian pada diri sendiri.

2. Identity Comparation : Pada tahap ini, kita mulai menerima kemungkinan bahwa kita memang homoseksual, atau biseksual. Ada kecenderungan untuk mengisolasi diri dari pergaulan social. Muncul kesedihan atau ketakutan tidak bisa menjalani kehidupan secara “normal”, seperti tidak bisa menikah dan memiliki anak. Kita juga tentu masih sangat ragu dengan orientasi seksual yang kita miliki. Bisa jadi, pada tahap ini kita akan berpikir bahwa perasaan menyukai sesama jenis hanyalah sementara, dan kita mengira masih bisa memilih. Penting bagi kita untuk mulai membangun idenitas kita sendiri di fase ini, karena itu jika saat ini kita ada di fase ini, mulailah mencari informasi dari berbagai sumber.

3. Identity Tolerance :  Di fase ketiga ini, kita semakin mengenali siapa kita, dan menyadari bahwa kita tidak sendirian. Ada kemungkinan pikiran kita akan “terpolar” antara siapa kita dan orang-orang heterosexual. Dengan kata lain kita akan semakin menyadari bahwa diri kita memang berbeda dari mayoritas orang. Kita akan mulai membuka diri pada komunitas LGB*. Berani untuk bertemu secara langsung, meski pasti akan masih sangat membatasi diri.  Siapa yang kita jumpai akan sangat berpengaruh pada perkembangan diri kita. Bertemu orang-orang yang positive dan supportive akan sangat bagus dan membantu kita bertumbuh. Sebaliknya komunitas yang negative akan sangat menghambat proses internalisasi diri kita.

4. Identirty Acceptence : Ini adalah fase di mana kita telah menerima diri kita sebagai homoseksual maupun biseksual. Perjumpaan dengan teman-teman homosekseual akan semakin meningkat, sebagai konsekuensinya intensitas perjumpaan dengan komunitas heteroseksual akan jauh berkurang. Di fase ini, kita akan semakin menyadari bahwa kehidupan kita akan sangat berbeda dari ekspetasi masyarakat sekitar. Kesadaran akan jati diri dan norma social akan berbenturan sangat keras. Sangat penting bagi kita menemukan orang-orang yang bisa mensupport kita, terutama untuk membantu kita mengambil keputusan

5. Identity Pride : Inilah saat di mana kita merasa bangga pada idenitas seksual kita. Tak ada lagi kegalauan tentang seksualitas kita. Kita mampu secara penuh menerima orientasi seksual kita, dan menjadi satu bagian utuh atas diri kita. Sisi negatifnya, kita benar-benar akan mengalami polarisasi antara jati diri kita dan kontruksi social. Kita akan merasa terpisah dari pergaulan masyarakat umum. Ada kecenderungan untuk membenci orang-orang heteroseksual, bahkan keluarga. Sangatlah wajar jika kita akan merasa sangat tidak nyaman berada di acara keluarga. Ada rasa malas untuk berbasa-basi saat bertemu dengan keluarga dan menghadapi terror seretetan pertanyaan seputar seksualitas, misal “Kapan Nikah?”. Di dunia sekolah atau kerja, relasi dengan kolega benar-benar hanya terbatas pada relasi professional. Jika ada teman heteroseksual, ada kecenderungan untuk “mendewakannya” karena “open minded” Inilah fase di mana kemarahan kita memuncak. Hal ini yang perlu kita sadari baik-baik, agar kita tidak terbawa emosi. ?”. Banyak yang kemudian memutuskan coming out ketika di fase ini karena terbawa emosi. Ada pula yang mencoba mengatasi kemarahan dengan alcohol maupun narkoba. Mengendalikan kemarahan menjadi pekerjaan yang harus kita lakukan di tahap ini.

6. Identity Synthesis: Inilah fase terakhir dalam tahap pengintegrasian diri. Setelah bisa mengendalikan emosi kita, kebanggaan akan idenitas seksual kita mungkin akan sedikit berkurang. Walau begitu, kita akan menyadari bahwa idenitas seksual itu tidak akan pernah terpisahkan dari diri kita. Orientasi seksual kita adalah sesuatu yang menyatu dalam diri kita, tetapi kita tidak akan terlalu peduli pada “label”. Kita akan cenderung menghargai diri sendiri sebagai seorang “manusia” tanpa embel-embel apapun, sebagaimana kita juga memandang orang lain. Hal ini  sangat berguna dalam mengatasi polarisasi yang terjadi. Di tahap ini, kita akan memiliki kemampuan untuk mengintergrasikan diri kita ke dalam nilai-nilai social. Kita akan menyadari bahwa meski kita bagian dari komunitas LGBTQ+, kita tak mungkin terpisah dengan masyarakat umum. Dengan pengintergrasian diri, kita akan dengan bijak menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat yang beragam. Seandainya kita masih menyimpan sedikit kemarahan kepada komunitas heteroseksual, hal itu adalah sesuatu yang wajar.

Itulah tahap-tahap pengintegrasian diri menurut Viviance Cass. Setiap orang mungkin memilii proses yang berbeda-beda. Proses ini merupakan proses seumur hidup, dan bukan proses sekali jadi. Pengintegrasian diri ini penting, karena kita hidup ditengah masyarakat yang plural. Seperti halnya kita yang tidak mungkin dipaksa menjadi orang lain, kita pun tidak bisa memaksa orang lain menerima apa yang kita yakini benar. Dengan menerima diri sendiri kita akan memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan lingkungan sekitar. Kita bisa menempatkan diri dengan baik, kapan harus bersikap terbuka, kapan harus menyimpan rahasia, dan ada kalanya kita harus menghindari komunitas-komunitas toxic.

Proses ini bukan proses yang mudah, kita pasti akan sangat membutuhkan orang lain untuk mendukung kita. Minimal orang yang mau mendengarkan kita. Mememiliki seorang sahabat untuk berbagi cerita tentu akan sangat membantu. Jika diperlukan jangan ragu untuk meminta bantuan professional, seperti psikolog. Hanya saja, pastikan psikolog yang kita temui adalah psikolog yang “murni”. Artinya dia tidak mencampurkan antara ilmu psikologi dan nilai-nilai dalam agama. Sebaiknya kita cukup berproses untuk mengenal diri sendiri dahulu. Setelah mencapai identity shynthesis, kita dengan sendirinya akan menemukan titik temu antara agama dan idenitas seksual kita. Selamat berproses. J 

 

*) The Cass Theory, merupakan proses yang terjadi pada kelompok orientasi homoseksual dan biseksual (LGB), Seorang Transgender memiliki proses yang berbeda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Only God Knows Why (2)

Only God Knows Why (1)

Kapan Nikah?