Übermensch Millenial - Suara Kenabian Nikita Mirzani

 

Foto : IG Nikita Mirzani 


Saya tidak tahu siapa itu Nikita Mirzany. Saya hanya pernah mendengar suara-suara sumbang yang mengatakan Nikita sekadar artis nirprestasi dengan sejuta sensasi. Saya tidak tahu apakah dia penyanyi atau aktress.  Lagunya apa, ataupun film yang pernah dimainkan saya tidak pernah tahu. Sudah 5 tahun saya tidak menonton TV. Saya sungguh tidak peduli padanya hingga dia bersuara mengkritik HRS. Sebelum TNI turun, Nikita satu-satunya orang yang lantang bersuara bahwa ada yang tidak beres. Sekian bulan, kita berjuang melawan covid 19, puluhan dokter dan perawat telah gugur. Pembatasan aktifitas memukul ekonomi kita hancur sehancurnya. Resesi tak terhindarkan, jutaan orang kehilangan pelerjaan, ribuan UMKM gulung tikar (termasuk punya saya). Lalu datanglah seseorang  dari Arab Saudi, membuat kerumunan masa seolah semua baik-baik saja. Menyerukan revolusi akhlak, tetapi tidak menunjukan rasa simpati pada sesama manusia. Nikita seorang diri berani membela itu. Rumahnya diancam akan dikepung 800 orang, dia dihina sebagai lonte. Nikita menanggapi semua itu dengan santai. Dia mempersilahkan orang-orang datang, dan berjanji akan menyediakan bakso untuk berpesta. Bahkan dia akan memberi hadiah bagi yang rumahnya paling jauh. Mengenai panggilan lonte, dia tidak membuatnya marah, dia justru bangga dengan idenitas kelonteannya. Kabar terbaru, dia menyebut tidak takut masuk neraka, karena di sana dia bisa bertemu teman-teman artis. Bahkan dia berseloroh akan membuat konser bersama MJ. Sontak, ucapan Nyai Nikita ini menuai hujatan dari nitizen.  Apa Nikita sudah gila?

 Menjelang akhir abab ke 19, seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche memunculkan gaya filsafat baru yang menuai kontroversi. Nietzsche menawarwakan cara pandang baru terhadap kebenaran, yang kemudian dikenal sebagai filsafat perspektivitas. Dalam filsafat Nietzsche, kebenaran itu tidak ada.

“Kebenaran-kebenaran adalah ilusi –ilusi  yang telah seseorang lupakan sebagai ilusi-ilusi. Mereka adalah metafora-metafora yang telah aus/usang dan telah kehilangan kekuatan indrawinya, ibarat koin-koin yang kehilangan tatahan ukirannya sehingga menjadi besi belaka dan bukan lagi koin” Nietzsche dikenal pula melalui pernyataan kontroversial, “Tuhan telah mati,” dan menyatakan kita semua adalah pembunuhnya.

Saya melihat, apa yang disampaikan Nietzsche sebenarnya adalah sebuah kritik terhadap agama (khususnya gereja di masa itu) yang gagal menfasilitasi perjumapaan antara manusia dengan sang Pencipta. Agama menjadi tempat persembunyian bagi orang-orang yang “kalah”. Mereka yang tak lagi sanggup bertempur di medan kehidupan bersembunyi dibalik pengabsolutan dogma dengan mengklaim diri sebagai “pemilik surga”. Konsep-konsep dualistic dalam agama, benar-salah, surga-neraka, halal-haram, kemudian dimanfaatkan segelintir elit untuk meraih kekuasaan. Agama kehilangan kesuciannya dan berubah menjadi idelogi dan melahirkan ketidakadilan.

Nietzsche menawarkan konsep  Übermensch  sebagai tujuan hidup manusia.  Übermensch  merupakan cara pandang baru dalam melihat diri sendiri. bagaimana kita menemuka nilai dalam diri kita  tanpa harus berpaling dunia.  Bagi saya,  Übermensch  mengajak manusia melihat diri sendiri secara jujur, membebaskan kehendak diri untuk berkuasa. Membebaskan diri dari kemunafikan yang terbungkus dalam baju agama.  Atas pemikirannya itu, Nietzsche dicap sebagai atheis gila.

 Nikita Mirzani, dalam perpektif saya, merupakan sosok  Übermensch di era millennial. Nikita berani membebasakan diri apa adanya. Nikita memilih maju bertempur, menolak tunduk pada kemunafikan. Nikita mampu membebasakan dirinya melampaui benar dan salah.  Perkataannya yang kontroversial menjadi suara kenabian yang dengan lantang melawan dominasi kelompok conservative. Suara yang mewakili sejuta suara yang bungkam termajinalkan.  Sebagai gay, saya lelah dihakimi sebagai pendosa. Distigma, sebagai calon kuat penghuni neraka. Suara Nikita, adalah suara orang-orang yang sudah muak dengan politik idenitas. Populisme di negeri ini telah mencapai pada titik yang sangat menjenuhkan.

Surga dan Neraka, saya tidak peduli lagi. Cukup sudah stigma. Jika surga dan neraka sungguh ada, saya memilih berada di neraka bersama Nikita. Berkumpul bersama para pendosa. Saya lebih suka dikeliling orang-orang yang tidak merasa lebih baik dari saya. Orang-orang yang mampu memandang sesama sebagai pribadi yang setara. Saya lebih senang berada di neraka, bersama orang-orang yang bisa saling mencintai karena dipersatukan oleh dosa. Setiap manusia itu pendosa pada jalan yang berbeda. Ambilah surgamu, biarkan kami berpesta di neraka.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Only God Knows Why (2)

Only God Knows Why (1)

Kapan Nikah?