32 Years Struggle




Beberapa hari setelah ulang tahun ke 32, tanpa suatu alasan yang jelas saya terdampar di alun-alun kota Magelang sendirian. Bukan tanpa alasan yang jelas sih, sejujurnya malam itu saya merasa asing dengan diri saya, dan kegabutan itu akhirnya membuat saya berkendara ke Magelang. (Jarak Jogja-Magelang sekitar 53 KM, waktu tempuh dengan motor +/-1 jam) Ada pertanyaan besar yang membayangi, setelah 32 tahun apa yang telah saya capai dan selanjutnya saya mau apa. Apa yang bisa saya banggakan selama 32 tahun? Nothing. . Menyedikan ya. Kegelisahan saya malam itu, dipicu oleh masalah ekonomi. Pandemi telah memberi pukulan telak bagi saya. Even i knew, i’m not alone, millions others people experienced excactly the same, i still felt messed up. I worried. 
     Dinginnya kota Magelang membuat saya termenung lebih dalam. Memori saya terbawa pada suatu malam saat saya berbincang dengan sahabat dekat saya di kamar biara. He is a frater*, and i was. Hari-hari itu adalah hari menegangkan bagi kami, karena mendekati hari penerimaan raport. Sahabat saya, merasa dirinya kandidat untuk dipulangkan, dan menilai saya adalah kandidat untuk lanjut. Semua orang, memamandang saya sebagai kandidat paling sempurna. I’m little bit smart, supel, hard worker, multitalent, and also creative. Satu-satunya kelemahan saya hanya dibidang music. Of course they didnt know that I’m gay. 
     Dia berkata bahwa dunia tidak adil. Ada yang terlahir dari keluarga kaya dan harmonis, ada yang dari keluarga broken miskin pula (He was). Mereka yang memiliki keluarga sempurna tumbuh dengan banyak privilege. Mereka bisa meraih apa yang diinginka dengan mudah. Punya banyak kesempatan untuk bereksplorasi dan mengembangkan diri. Sedangkan anak-anak dari keluarga broken home harus struggle dengan luka-luka mereka. Sistem evaluasi di seminari, tidak hanya melihat dari sisi akademis, tetapi dari lima aspek, yakni kedewasaan manusiawi, hidup rohani, hidup bersama, pangilan dan akademik. Dalam aspek kedewasaan manusiawi yang dinilai adalah kepribadian, bagaimana seseorang berdamai dengan masa lalu. Sahabat saya, mendapat catatan serius di titik ini. Dia berpendapat, ialah suatu ketidakadilan menilai seseorang dari berbagai latar belakang yang berbeda dengan standart yang sama. Dia berani dengan jujur mengakui bahwa memang belum berdamai dengan masa lalu. Tidak mudah memaafkan orang tuanya yang mengambil keputusan berpisah. Diapun menyadari bahwa hal itu mempengaruhi prestasi/kinerjanya. Jika hari ini dia tertinggal, maka hal itu adalah hal yang wajar karena orang lain tidak merasakan apa yang dia alami. Mereka baik-baik saja dan siap berlari. Begitu keluh kesah ya malam itu. Saya menanggapinya dengan sinis, belum tahu rasanya jadi homo sih :/. 
     Di sudut kota Magelang pertanyaan yang dia sampaikan kembali terngiang. Mengapa dunia tidak adil? Teman-teman saya bisa meraih segala seuatu dengan mudah. Mereka tumbuh dengan banyak privilege. Keluarga sempurna, ekonomi mapan , dan hetero. Sedangkan saya, keluarga ga akur, miskin , homo pula. What a life :). Kalau sedang ngeprank, Tuhan ngepranknya kebangetan. Kalau bisa sih ya, homo gpp tapi jangan miskin. Atau homo tapi dibikin kaya. 
    Kegelisaan seputar ekonomi itu kemudaian merembet pada idenitas seksual saya. Saya takut dihakimi, bahwa kegagalan saya adalah karena saya gay. Penghakiman sosial, jauh lebih menakutkan daripada menjadi miskin karena pandemic. Saya takut dinilai salah pergaulan - padahal menjadi homo bukan sesuatu yang saya pilih-, tanpa mereka mengerti betapa beratnya menjadi bagian dari komunitas LGBTQ di Indonesia. Dari ketakutan-ketakutan itu, justru kemudian sebuah kesadaran tentang apa telah saya capai setelah 32 tahun. 
     I have been struggle for 32 years. Sound so simply. But yeah, i proud of it. It wasn't eassy to be me. Tidak mudah mengatasi keterasingan dari diri sendiri. Saya terlahir sebagai seorang yang sensitif dan perasa. Saya akan sangat mudah menangis untuk hal-hal kecil yang menyentuh. Semua itu saya tahan perasan itu karena saya laki-laki. Hal itulah yang mebuat saya terasing dari diri sendiri. Bangun dengan perasaan berbeda dan bertanya, mengapa saya ada? Mengapa saya masih bangun pagi ini? SMP kelas 3, keluarga saya jatuh bangkrut, gara-gara judi. We lost everything. Literally everything. Ayah saya sempat dikejar-kejar preman, diancam dibunuh. Kontrakan kami diteror setiap hari. Buruknya situasi membuat kematian menjadi satu-satunya opsi rasional bagi kami agar kami keluar dari masalah. Suatu hati, kami sekeluarga pergi ke pantai Samas, untuk menyelesaikan masalah kami. I imagined, we would become news’s headline in the day after. But, we chose to alive, chose to figh and stared over again. Secara ajaib, kami keluar dari semua masalh itu, tanpa harus membayar hutang kalah judi. Ditengah kekacauan itu saya masih bisa masuk sma favorit. Sejak saat itu, spiritualitas “Providentia Dei”** tertanam kuat dalam diri. Ibu saya selalu menyinggung hal itu setiap ada kesempatan. Intinya “Percoyo karo sing gawe urip”. 
     Keajaiban itu membuat saya percaya betapa baiknya Tuhan. Namun, kasih Allah ini membuat saya mengalami dilema. Masa SMA, perasaan tertarik pada laki-laki semakin kuat. Menjadi lelaki cengeng saja sudah membuat saya merasa aneh. Dan sekarang saya menyukai lelaki. Perasaan itu membuat saya menjadi sangat berdosa. Setelah semua keajaiban yang saya terima, beginikah saya membalas-Nya? Apakah ini cara yang pantas? Apalagi saat SMA saya mendapat beasiswa dari gereja. That was my darkest part of life. So, fuckup. 
    Setelah semua itu, bolehlah saya merasa struggle adalah sebuah prestasi. Ibaratnya saya berhasil lulus, meski nilai c semua. Mungkin, saya tertinggal jauh. Teman-teman saya banyak yang telah sukses, mandiri secara ekonomi bahkan mampu membeli sebuah rumah sendiri. Hidup bukan suatu kompetisi. Tidak, ada satupun aturan yang mengharuskan saya memiliki apa yang orang lain miliki. Karena itulah menjadi seorang yang mampu struggle tetaplah harus dirayakan. 
     Hal selanjutnya yang mengelitik saya, adalah bagaimana saya bisa bertahan dari semua kegilaan itu. Tahun 2003, di pantai Samas, saat kami berpikir untuk mengakiri semua, kami justru memilih bertahan. Why? It’s love babby. My family are so fvckup. But, there is a great love there. Great Love that make me alive, and survive. The reason why I wake up every morning. Saya, bersama keluarga telah dihadapakan pada kematian, dan kami mengalahkan kematian.
     Jadi ini yang saya banggakan dan miliki setelah hidup selama 32 tahun. Pertama, saya bersyukur memiliki keluarga yang ajaib. Jauh dari gambaran keluarga sempurna, apalagi jika dibandingkan dengan Keluarga Kudus Nazaret. Di sanalah saya tumbuh dibentuk. Di sana lah saya belajar kehidupan, belajar untuk mencintai dan mencintai. Tempat saya berbagi cerita dan bercanda menertawakan kehidupan. Kedua saya bersyukur atas seksualitas saya. Lahir berpenis, bukan berarti saya tidak boleh menjadi cenggeng dan perasa. Kepekaan itulah yang justru menjadikan saya pribadi yang peduli. Mencintai lelaki juga bukan suatu kesalahan. Cinta bagaimanapun adalah sebuah energy untuk memberi. Menjadi gay, adalah anugrah dalam kehidupan. Dari keterasingan, kesendirian, saya terbentuk menjadi pribadi yang kuat. Dan terpenting, saya mengerti apa itu cinta.
     I have been struggle for 32 years, and I’ll keep it, years by years. As long as you love, you still have hope.


* frater : calon imam dalam gereja Katolik
* Providentia Dei : Penyelengaraan Ilahi, percaya bahwa Allah memlihara kehidupan. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Only God Knows Why (2)

Only God Knows Why (1)

Kapan Nikah?