Kapan Nikah?
Isu pernikahan selalu menjadi momok tersendiri bagi komunitas LGBTQ+. Terutama bagi mereka yang telah melewati usia 25 tahun. Di tengah masyarakat yang konservative, tidak hanya secara agama tetapi juga budaya, menikah menjadi semacam kewajiban. Seseorang akan dianggap “mentas” setelah ia menikah. Karena itu, seseorang yang telah mencapai usia 25 dan belum menikah, atau setidaknya menunjukan tanda-tanda akan menikah, segera akan menjadi bahan ghibah tetangga. Tekanan akan datang bertubi-tubi dari berbagai sudut. Kita akan diteror dengan pertanyaan “kapan nikah?”. Kalau sudah begitu, momen berkumpul dengan keluarga besar, akan menjadi momen yang menakutkan. Pada level selanjutnya, orang-orang disekitar kita kemudian pun akan “berbaik hati” menyusun skenario perjodohan untuk “menyelamatkan” hidup kita. Lalu apa yang harus kita lakukan menghadapi masalah ini?
Tidak ada solusi yang pasti. Kita bisa memilih menyerah terhadap tekanan social dengan menikah, bisa pula mengabaikannya, sampai orang-orang bosan sendiri bertanya “kapan nikah. Atau, pilihan ekstremnya mendeklarasikan diri tidak akan menikah. Saya sebut ekstrem karena jika kita memilih itu, kita akan langsung dihakimi sebagai orang aneh. Kebetulan saya masuk dalam golongan itu. Keluarga inti saya, sudah cukup mengerti dengan pilihan hidup saya. (Good for me) Namun, tetap saja banyak yang menilai keputusan saya adalah sebuah keputusan gila. Bahkan, teman-teman dari komunitas LGBTQ+ pun ada yang menilai demikian.
Saya tidak ingin mengajak orang untuk tidak menikah. Tetapi ijinkan saya berbagi pengalaman mengapa pada akhirnya saya memilih tidak menikah.
Pernikahan adalah sesuatu yang Sakral.
Dalam keimanan saya, pernikahan adalah suatu sakramen. Sakramen berarti tanda kehadiran Allah. Hal ini menjadikan pernikahan memiliki makna yang begitu sakral. Jika saya menikah hanya demi status social, gambaran Allah seperti apa yang saya tampakan? Kemunafikan sangat bertentangan dengan sifat keilahian Allah. Gereja menyaratkan pernikahan harus didasarkan pada kebebasan, bukan tekanan. Menikah demi karena tekanan sosial adalah sebuah pilihan egois dan membuat saya berdosa besar pada Bunda Gereja.
Tidak menikah adalah kehendak Allah atas diri saya
Dalam kisah penciptaan, diceritakan Allah menciptakan Adam dan Hawa. Mereka diberi perintah oleh Allah untuk beranak, cucu mmemenuhi bumi. (bdk Kej 1:27-28) Dari kisah itu, banyak orang kemudian menarik kesimpulan bahwa melanjutkan keturunan adalah kodrat manusia. Pilihan yang tidak sejalan dengan itu, dinilai menyalahi kodrat. Faktanya, seksualitas manusia jauh lebih kompleks daripada proses reproduksi. Seksualitas memiliki makna yang mendalam. Mempertahankan keberlangsungan spesies adalah naluri manusia sebaga makhuk hidup. Namun, hal itu bukanlah tujuan dari hidup. Ada orang yang ditakdirkan untuk tidak kawin (melanjutkan keturunan) ada pula yang memilih demikian karena berbagai alasan. (bdk Mat 19:12)
Setelah melalui proses refleksi yang panjang, saya menangkap bahwa saya termasuk dalam golongan Matius 19:12. Secara biologis memang masih memungkinkan memiliki keturunan, tetapi saya memilih sesuatu yang lain. Menjadi jomblo seumur hidup, saya yakini sebagai jalan ninja yang ditakdirkan Allah bagi saya.
Saya ingin membahagiakan Orang Tua
Saat tahu saya memutuskan tidak menikah banyak yang bertanya, bagaimana dengan orang tua saya. Bagaimana perasaan mereka atas pilihan hidup saya? Ada pula yang bertanya, apa saya tidak ingin membuat mereka bahagia? Tak jarang, kemudian saya langsung dihakimi sebagai anak durhaka dan egois. Orang tua saya kecewa dengan pilihan saya. Namun, justru karena saya ingin mereka bahagia saya memilih sesuatu yang lain dari yang mereka harapkan.
Bagaimana mungkin kita membuat oran lain bahagia, jika kita tidak bahagia? Ada seorang anak, yang sebenarnya menyadari punya bakat besar di bidang ilmu social. Hanya saja, karena ingin membahagiakan orang tuanya, dan membuat mereka bangga dia kemudian justru memilih jurusan IPA saat masuk SMA. Banyak orang berasumsi, anak IPA lebih pintar daripada anak IPS. Padahal, bakat dan kecerdasaan setiap orang berbeda-beda. Anak IPA dan IPS sama cerdasnya di bidangnya masing-masing. Karena memaksakan diri masuk IPA, anak tersebut tidak bisa mengikuti pelajaran, nilai-nilainya selalu jelek. Apakah orang tuanya menjadi bahagia dan bangga?
Menikah sama halnya dengan memilih jurusan saat kita sekolah. Bahkan jauh lebih rumit dan kompleks. Menikah membawa konsekuensi yang besar. Salah jurusan, mungkin hanya akan berdampak pada diri sendiri. Sedangkan pernikahan, ketika kita tidak mampu bertanggung jawab atasnya akan sangat merugikan orang lain. Jangankan membahagiankan orang tua, saya justru akan menyakiti orang tua, pasangan saya dan keluarganya, dan anak-anak saya. Jadi,lebih baik saya memilih jalan saya sendiri. Saya yakin bisa membuat orang tua bahagia, ketika saya mampu bahagia dan bertanggung jawab atas pilihan hidup saya.
Menikah tidak akan merubah orientasi seks seseorang
Saya mengenal seorang gay yang sudah menikah. Sebut saja namanya, Dimas. Istrinya tahu, bahwa dia adalah gay, dan mau menerima apa adanya. Dia sendiri sudah tidak menjalin relasi (bfan) dan tidak berhubungan seks dengan laki-laki lagi. Dimas masih berteman dengan teman-teman gay, termasuk saya, sebatas untuk teman bercerita. Dalam setiap pembicaraan kami, dia selalu mengutarakan kerinduannya terhadap lelaki meski kini sudah beranak satu. Bercerita betapa berat hidup yang dia jalani, karena harus menyangkal idenitasnya. Sejauh ini, dia mampu berkomitmen terhadap pernikahannya.
Dimas,bukan satu-satunya gay kenalan saya yang sudah menikah. Dimas, satu-satunya contoh yang bisa berkomitmen. Sisanya, meski mereka sudah berkeluarga, dibelakang istri mereka masih menjalin kisah cinta dengan laki-laki lain. Saya tidak setuju dengan tindakan mereka, tetapi saya menolak untuk menghakimi.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah opsi menikah demi menghindari tekanan social hanya akan memasukan saya pada tekanan baru yang bahkan lebih buruk. Saya akan dipaksa berpura-pura menjadi orang lain sepanjang hidup saya.
Itulah beberapa pertimbangan, mengapa saya pada akhirnya berani memutuskan tidak menikah. Sekali lagi, seperti saya katakana di atas, tidak ada solusi yang pasti untuk isu ini. Apa yang baik bagi saya, belum tentu sesuai diterapkan pada orang lain. Karena itulah, kita harus mengenal diri kita masing-masing, berdamai dengannya, lalu belajar mengenali nilai-nilai yang ada disekitar kita, agar kita mampu menemukan titik temu terbaik dari masalah yang pelik ini. Menikah ataupun tidak, semua ada plus minusnya. Keputusan akhir ada di tangan kita, tetapi ingat, pilihan kita selalu berdampak pada orang lain. Bijaklah memilih, dan apapun pilihan kita, yang terpenting adalah bagaimana kita bertanggungjawab atasnya.

Yuk nikah 😂✌️
BalasHapus